Oleh : Hana Nur F
Anita menggeliat malas menuju ruang tamu. Bibik Ijah pembantunya, telah memegang moncong pesawat telepon dan begitu melihat Nona rumah alisnya naik. Anita paham pasti suara dari seberang sana tertuju untuk dirinya.
“Dari siapa, Bik ?” Anita berbisik. Bibik cepat-cepat menutup moncong telepon dengan tangan kiri. “Cowok !”
“Bilang saja aku ngngak ada !” pinta Anita dengan keras.”Baru pergi ke luar kota .”
“Tapi Non…”
“Tidak ada kata tapi,” jelas Anita tegas. “Semua cowok itu brengsek…”
Bibik Ijah kembali membuka moncong telepon. Lalu katanya,” Non bilang baru ke luar kota .”
“Bibik…!” Anita melotot. Bibik Ijah hanya diam karena memang dirinya tidak bisa berbasa-basi.” Tapi ini teman Non yang bernama Rafi.”
Anita tidak jadi marah. Dia menyambar gagang telepon dan terjadilah percakapan serius. Bibik Ijah kembali ke dapur.
Belum lama Bibik Ijah di dapur, Anita sudah menyambangi dengan membawa handuk. “Mau pergi ya, Non..”
“Ya…,” jawabnya singkat.”Sekarang bersihkan mobil saya ya, Mang ?”
Mang Kasim yang kebetulan berada di dapur langsung mengambil lap dan beranjak ke garansi. Kedua orang itu, Bik Ijah dan mang Kosim memang pembantu setia di rumah Anita. Sehari-hari hanya dengan keduanya Anita hidup. Kedua orang tuanya telah lama bercerai dan ibu yang seharusnya mendidik Anita justru jarang pulang. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Untung Anita anak yang baik, sehingga tidak melampiaskan kekecewaannya dengan perbuatan yang negatif.
Setelah seperempat jam membersihkan mobil, Anita telah mengecek. Ia muncul dengan celana jean dengan T-shirt garis-garis. Lipstik merah jambu yang tipis di bibirnya menambah kecantikanya.
“Non sangat cantik sekali. Pasti akan pergi dengan orang yang istimewa,” ledek Mang Kasim.
“Akh, Mang ada -ada saja,” sergah Anita sedikit malu.
“Nanti makan siang di rumah Non ?” Tanya Bibik Ijah nyelonong dari dapur.
“Entah, Bik, lihat suasana nanti.”
Tiba-tiba terdengar suara deru mobil. Mang Kasim buru-buru membuka pintu gerbang. Seorang lelaki tampan turun dari mobil sehingga semua mata tertuju kepadanya.
“Bawa mobilku saja, Nit,” pinta laki-laki itu, tak lain adalah Rafi. Anita pun menurut dan sesaat kemudian keduanya sudah melesat dari hadapan Mang Kasim dan Bik Ijah.
Kedua muda-mudi itu berputar-putar tanpa tujuan. Yang penting keduanya senang dan hilanglah segala penat. Tapi dibalik kebahagiaan itu, Anita merasa was-was juga sebab Rafi melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Anita takut hal itu sebagai pelampiasan kekecewaan. Yach karena belum lama ini pacar Rafi meninggal karena kecelakaan. Dan Anita mau saja selama ini diajak jalan-jalan Rafi karena ingin menghibur hatinya yang masih berduka. Sementara diri Anita sendiri juga butuh teman ngobrol karena di rumah suasana seperti mati.
“Kita istirahat dulu, Raf,” pinta Anita. “Kita cari minum dulu.”
Rafi menyanggupi dan pelan-pelan menepikan mobilnya di sebuah warung es kelapa muda. Mereka mencari tempat duduk yang menjauh. Setelahlama berbincang tiba-tiba rafi seperti tersedak dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang membelenggu jiwanya.
“Anita…”
“Hmmm…apa yang hendak kau katakana, Raf, “ tanya Anita lembut. Matanya menatap tajam laki-laki di hadapannya. Dengan bibir tergetar Rafi pun nekad mengatakan:
“Maukah kau menggantikan Windi dihatiku ? Aku tidak mau hatiku terlarut dalam duka, Nit.”
Anita mendesah. Ia menerawang jauh. Jauh di antara pucuk-pucuk pohon karet Masih berat rasanya untuk mencerna kata Rafi. Sebab selama ini dirinya sudah banyak terbebani masalah keluarganya yang boleh dikatakan berantakan.
“Katakan sejujurnya, Nit, walau pahit sekalipun.” desak Rafi. Anita menjadi seperti makan buah simalakama. Jika dia tolak pasti rafi akan semakin frustasi. Jika dirinya mau menerima di relung hatinya belum terbuka untuk hati seorang laki-laki.
“Bagaimana kalau besok saja, Raf ?” Anita memandang dengan mata sayu.
Rafi menatap gadis dihadapannya. Dia menjadi malu sendiri diam-diam mengagumi Anita. Ternyata Anita mempunyai jiwa tegar di balik kecantikannya. Walau dirinya kesepian, dia tidak begitu mudah menerima hati lelaki.
“Baiklah bila itu maumu, Nit ! Tapi sungguh, cintaku padamu sangat suci…” desahnya lirih sambil menitikkan air mata. Hati Anita tergetar. Ia dapat merasakan, pasti di hati Rafi seperti dirinya yang haus kasih sayang dari orang yang diharapkan kehangatannya.
“Ah…..,” Anita kembali mendesah. “Semoga cinta sucimu memang tertambat di hatiku Rafi…” katanya pelan sambil melangkahkan kaki mengiringi Rafi kembali ke mobil @